Kinerja Birokrasi
Pelayanan Publik
Buruknya
birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia.
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong
meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi
Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti
dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina,
Vietnam dan India.
Di
tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999,
dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk
terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan
pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain
menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang
memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.
Para
eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di
kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka
juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi
untuk melakukan reformasi.
Reformasi
menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea
Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di
bawah rata-rata, yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan
8,7. Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai
negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91
untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara
nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
Konsep
Kebijakan
Informasi
mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum dianggap sebagai
suatu hal yang penting oleh penierintah. Tidak tersedianya informasi mengenai
indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan ketidakseriusan pemerintah
untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda kebijakan yang
penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi pertimbangan yang
penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar penilaian pelaksanaan
pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk menilai kinerja pejabat
birokrasi sangat jauh relevansinya dengan indikator-indikator kinerja yang
sebenarnya.
Akibatnya,
para pejabat birokrasi tidak memiliki insentif untuk menunjukkan kinerja sehingga
kinerja birokrasi cenderung menjadi amat rendah.Pemerintah terhadap birokrasi
seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJà birokasinya. misalnya, dalam
menentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama sekali idak mengaitkan
anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih
didasarkan atas input, bukan cutput. Anggaran yang ditcrima oleh sebuah
birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yangakan
diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya.
Akibatnya,
dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan
birokrasi publik.Karena anggaran sening menjadi driving force dari perilaku
birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran yang ditçnirna oleh sebuah
birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang
mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang ingin
memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk menunjukkan kmerja yang
balk. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja birokrasi
publik niscaya akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga
menjadi lebih mudah dilakukan.
Faktor
lain yang menyebabkan terbatasnya informasi mengenai kinerja birokrasi publik
adalah kompleksitas indikator kinerja yang biasanya digunakan untuk mengukur
kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan swasta yang indikator kinerjanya
relatif sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi sering
sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders
yang sangat banyak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan
bisnis memiliki stakeholders yang jauh lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan
kepentingannya relatif mudah dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik
perusahaan ialah selalu memperoleh keuntungan, sedangkan kepentingan utama
konsuuen biasanya adalait kualitas produk dan harga yang terjangkau.
Stakeholders
dan birokrasi publik, seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis sosial dan
partai, wartawan, dan para penggusaha sering berkepentingan berbeda-beda dan
berusaha mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi publik.
Penilaian kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih
kompleks dan sulit dilakukan daripada di perusahaan bisnis.
Penilaian
kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan
indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan
efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan indikator-indikator yang melekat
pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan
responsivitas. Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi sangat penting
karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para
pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan.
Dalam
pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa memiliki pilihan
sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap
memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan oleh
publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap
pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi publik muncul karena
tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi
juga bersifat multidimensional.
Kenyataan
bahwa birokrasi publik mernilild stakeholders yang banyak dan meinilild
kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat birokrasi
publik mengalaini kesulitan untuk merumuskan inisi yang jelas. Akibatnya,
ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga berbedabeda.
Namun, ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja
birokrasi publik (Dwiyanto, 1995), yaitu sebagai berikut.
1.
Produktivitas
Konsep
produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas
pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara input
dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General
Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang
lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil
yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
2.
Kualitas Layanan
Isu
mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan
kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk
mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap
kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik. Dengan deinikian,
kepuasaan masyarakat terh.dap Lyanan dapat dijadikan indikator kinerja
organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai
indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali
tersedia secara mudah dan murah.
Informasi
mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dan
media massa atau diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi mengenai
kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa
menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah
dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja
organisasi publik.
3.
Responsivitas
Responsivitas
adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun
agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan
publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat
responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan
pelayanan dengan kcbutuhan dan azpirasi.
Kumorotorno
(1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijddikan pedoman dalam menilai
kirerja organisasi pelayanan publik, antara lam, adalah berikut ini.
1. Efisiensi
Efisiensi
menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik
mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang
berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secar objektif,
kriteria. seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan kriteria
efisiensi yang sangat relevan.
2.
Efektivitas
Apakah
tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal
tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan
organisasi, serta fungsi agen pembangunan.
3.
Keadilan
keadilan
mempertanyakan distnibusi dan alokasi layanan yang diselenggarakanoieh
organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep
ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektivitas
tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu
yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada kelompok pinggiran dan
sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.
4.
DayaTanggap
Berlainan
dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan awasta, organisasi pelayanan
publik merupakan bagan diri daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan
vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara
keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi
kriteria daya tanggap.
Salim
& Woodward (1992) melihat kinerja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan persamaan pelayanan. Aspek ekonorni alam
kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya yang senunimal
mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi
kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi tercapainya
perbandingan terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output
pelayanan.
Demikian
pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan ialah untuk melihat tercapainya
pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah ditentukan. Prinsip keadilan
dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai ukuran untuk menilai
seberapa jauh suatu ventuk pelayanan telah memperhatikan aspek-aspek keadilan
dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem pelayanan yang
ditawarkan.
Zeithaini, Parasuraman, dan Berry (1990) mengemukakan bahwa kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya fisik.
Zeithaini, Parasuraman, dan Berry (1990) mengemukakan bahwa kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya fisik.
Penyelenggaraan
pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui aspek fisik pelayanan yang
diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representatif, fasilitas
pelayanan berupa televisi, ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung yang
memiliki teknologi canggih, misalnya komputer, penampilan aparat yang menarik
di mata pengguna jasa, seperti seragam dan aksesoris, serta berbagai fasilitas
kantor pelayanan yang memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat.
Berbagai
perspektif dalam melihat kinerja pelayanan publik di atas memperlihatkan bahwa
indikator-indikator yang dipergunakan untuk menyusun kinerja pelayanan publik
ternyata sangat bervariasi. Secara garis besar, berbagai parameter yang
dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi
dua pendekatan. Pendekatan pertama melihat kinerja pelayanan publik dan
perspektif pemberi layanan, dan pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan
publik dan perspektif pengguna jasa.
Pembagian
pendekatan atau perspektif dalam nielihat kinerja pelayanan publik tersebut
hendaknya tidak dilihat secara diametrik, melainkan tetap dipahami sebagai
suatu sudut pandang yang saling berinteraksi di antara keduanya; Hal tersebut
disebabkan dalam melihat persoalan kinerja pelayanan publik, terdapat berbagai
faktor yang mempengaruhinya secara timbal balik, terutama pengaruh interaksi
lingkungan yang dapat mempengaruhi cara pandang birokrasi terhadap publik,
demikian pula sebaliknya.
Dalam
konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah melalui
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 81 lahun 1995
telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi
publik secara baik. Berbagai prmsip pelayanan, seperti kesederhanaan,
kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonoinis, dan keadilan
yang merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam
pemberian pelayanan publik di Indonesia.
Prinsip
kesederhanaan, misalnya, mempunyai maksud banwa prosedur atau tata cara
pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.
Perkembangan lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar kepada birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka pasar bebas dan tuntutan globatisasi.
Perkembangan lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar kepada birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka pasar bebas dan tuntutan globatisasi.
Birokrasi
publik dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik mungkin, baik
kepada publik maupun kepada investor dari negara lain. Salah satu strategi
untuk merespons perkembangan global tersebut adalah dengan meningkatkan
kapasitas birokrasi dalam pemberian pelayanan, publik. Penerapan strategi yang
mengintegrasikan pendekatan kultural dan struktural ke dalam sistem pelayanan
birokrasi, yang disebut dengan Total Quality Management (TQM), dapat dilakukan
untuk semakin meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi.
Perbaikan
kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi isu yang semakin
penting untuk segera mendapatkan perhatian dan semua pihak. Birokrasi yang
memiliki kinerja buruk dalam me’nberikan pelaydnan kepada publik akan sangat
mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruan dalam rangka
meningkatkan daya saing suatu negara pada era global.
Birokrasi
pelayanan publik di Indonesia, berdasarkan laporan dan The World
Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok negara-negara yang
memiliki indeks competitiveness paling rendah di antara 100 negara paling
kompetitif di dunia (Cullen & Cushman, 2000: 15) semakin buruk dan semakin
korup karena dengan semakin besarnya skor yang dimiliki, semakin buruk kualitas
birokrasi di suatu negara.
Birokrasi
di Indonesia dalam tahun 2001 hanya lebih baik dibandingkan dengan India dan
Vietnam. Dan kacamata iklim bisnis secara keseluruhan, dengan mmperhatikan
faktor sistemik, sosio-politik, lingkungan, pasar, dan dinamika perekonomian,
Indonesia bahkan berada pada posisi paling bawah dalam indeks bisnis. Hal
tersebut berarti bahwa Indonesi menjadi negara yang paling tidak menarik untuk
tujuan melakukan investasi.
Kinerja
birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi, seperti dimensi
akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas, maupun responsibiltas.
Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki
kesamaan substansial yakni untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil
yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu
konsep yang disusun dan berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan
fokus dan konteks penggunaannya.
Perspektif
yang digunakan oleh birokrasi sebagai pemberi layanan merupakn perspektif yang
sebenarnya berasal dan pendekatan birokrasi yang cenderung menempatkan diri
sebagai regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi pada awálrwa
banyak dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya dan aspek responsibilitas, yakni
sejauh mana pelayanan yang diherikan telah sesuai dengan aturan formal yang
diterapkan.
Pemberian
pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal dianggap telah memenuhi
sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat pelayanan dianggap telah konsisten
dalam menerapkan aturan hukum pelayanan. Sulit untuk menelusuri lebih jauh,
apakah penerapan prinsip tersebut telah membawa implikasi kepada kultur
birokrasi pelayanan di Indonesia yang tidak dapat melakukan inisiatif dan
inovasi pelayanan.
C.Akuntabilitas
Akuntabilitas
dalam penvelenggaraan pelavanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan
beberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran
nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang diiniliki
oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang herkembang dalam
masyarakat tersebut di antaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip
keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan
yang dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.
Akuntabilitas
penyelenggaraan pelayanan publik dalampenelitian dilihat melalui
indikator-indikator kinerja yang meliputi: (1) acuan pelayanan yang
dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan publik.
Indikator tersebut mencerminkan prinsip orientasi pelayanan yang dikembangkan
oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa; (2) tindakan yang dilakukan
oleh aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat pengguna jasa yang tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan; dan (3) dalam menjalankan tugas
pelayanan, seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari
aparat birokrasi.
Aparat
birokrasi dalam memberikan pelayanan publik seringkali masih menerapkan standar
nilai atau norma pelayanan secara sepihak, seperti pemberian pelayanan yang
hanya berdasarkan pada juklak (petunjuk dan pelaksanaan) sehingga kecenderungan
yang terjadi adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel terhadap
masyarakat yang dilayaninya.
Salah
satu faktor penyebab yang menjadikan rendahnya tingkat akuntabilitas birokrasi
adalah terlalu amanya proses indoktrinasi kultur birokrasi yang mengarahkan
aparat birokrasi untuk selalu melihat ke atas. Selama ini aparat birokrasi
telah terbiasa lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada kepentingan
masyarakat pengguna jasa. Birokrasi tidak pernah merasa bertanggung jawab
kepada publik, melainkan bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasannya.
Pemberian
pelayanan yang memakan proses dan prosedur panjang, seperti yang terjadi di
Unit Pelayanan Terpadu, juga menjadi indikasi masih rendahnya akuntabiltas dan
birokrasi pelayanan yang ada. Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap
(UPTSA) sebagai unit pelayanan yang pada awalya dirancang untuk memudahkan
pelayanan masyarakat, pada kenyataannya justru cenderung memperpanjang proses
dan prosedur pelayanan.
Meskipun
demikian, keberadaannya masih tetap dipertahankan karena merupakan program dari
Pemerintah Pusat. Seorang aparat birokrasi pada kantor Dmas Tata Kota mengakui
telah terjadinya ketidakefektifan sistem pelayanan di UPTSA. Rendahnya
akuntabilitas pemberian pelayanan publik oleh birokrasi dapat dilihat juga dan
banyaknya kasus yang dialami oleh masyarakat pengguna jasa. Masalah prosedur
pelayanan yang banyak merugikan masyarakat pengguna jasa, terutama masalah
transparansi persyaratan yang diperlukan, merupakan kasus-kasus pelayanan yang
banyak mencuat
Transparansi
informasi birokrasi dalam pemberian pelayanan publik masih tetap menjadi isu
yang penting bagi upaya ke arah perbaikan kinerja birokrasi pemerintah.
Tindakan untuk melakukan reformasi birokrasi terutama diarahkan pada upaya
untuk peningkatan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi (Lubis,
2001).
Transparansi
dalam birokrasi dapat memberikan implikasi pada meningkatnya tingkat korupsi di
dalam birokrasi, tetapi reformasi tetap dilakukan di semua tingkatan birokrasi.
Apabila reformasi dilakukan pada tingkat birokrasi pusat saja, hal tersebut
justru hanya akan memindahkan korupsi dan birokrasi pusat ke birokrasi yang ada
di daerah. Acuan pelayanan yang digunakan oleh aparat birokrasi juga dapat
menunjukkan tingkat akuntabilitas pemberian pelayanan publik. Acuan pelayanan
yang dianggap paling penting oleh birokrasi dapat merefleksikan pola pelayanan
yang dipergunakan.
Pola
pelayanan yang akuntabel adalah pola pelayanan yang mengacu pada kepuasan
publik sebagai pengguna jasa. Birokrasi pelayanan di ketiga daerah ternyata
masih menjadikan aturan dan petunjuk pimpinan sebagai acuan utama pemberian
pelayanan. Birokrasi bahkan terlihat belum sepenuhnya mengerti dan memahami
eksistensi birokrasi yang tetap tergantung pada publik.
Kesadaran aparat birokrasi tentang eksistensi publik yang dapat dipengaruhi eksistensi birokrasi juga masih sangat rendah.
Kesadaran aparat birokrasi tentang eksistensi publik yang dapat dipengaruhi eksistensi birokrasi juga masih sangat rendah.
Persepsi
di kalangan aparat birokrasi yang selalu menempatkan diri (superior) terhadap
publik sehingga menimbulkan sifat arogansi aparat birokrasi masih sangat
dominan terlihat. Hasil temuan lapangan bahwa ini dapat memperlihatkan masih
kuatnya kecenderungan orientasi pemberian pelayanan yang belum bersandar pada
uasan masyarakat menunjukkan bahwa budaya ‘minta petunjuk atasan’ masih
cenderung dijadikan referensi atau lebih dipentingkan pada melakukan pelayanan
yang memuaskan masyarakat pengguna .
Acuan
pelayanan birokrasi di ketiga daerah yang masih menempatkan pimpinan dan aturan
sebagai sentral pelayanan membuktikan bahwa kultur atau corak birokrasi
patrimonial masih mewarnai birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Aparat
pelayanan yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi bersikap kaku dan
tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksanaan
pelayanan publik seharusnya bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar
dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.
D.Responsivitas
Responsivitas
adalah kemampuan birokrasi untuk rnengenal kebutuhan masyarakat, menyusun
agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-progrm pelayanan
sesuai dcngan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi lerhadap harapan,
keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa. Responsivitas sangat
diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pebyanan serta mengembangkan program-program pelayan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio, 1991). Organisasi yang memiliki
responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga
(Osborne & Plastrik, 1997).
Dalam
operasionalisasinya, responsivitas pelayanan publik dijabarkan menjadi beberapa
indikator, seperti meliputi (1) terdapat tidaknya keluhan dan pengguna jasa
selama satu tahun terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespons keluhan
dan pengguna jasa; (3) penggnaan keluhan dan pengguna jasa sebagai referensi
bagi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada masa mendatang (4) berbagai
tindakan aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada pengguna
jasa; serta (5) penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem
pelayanan yang berlaku.
Keluhan
yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa merupakan indikator pelayanan
yang memperlihatkan bahwa produk pelayanan yang selama ini dihasilkan oleh
birokrasi belum dapat memenuhi harapan pengguna layanan.Responsivitas birokrasi
yang rendah juga banyak disebabkan oleh belum adanya pengembangan komunikasi
eksternal secara nyata oleh jajaran birokrasi pelayanan. Indikasi nyata dari
belum dikembangkannya komunikasi eksternal secara efektif oleh birokrasi
terlihat pada masih besarnya gap pelayanan yang terjadi. Gap pelayanan yang
terjadi merupakan gambaran pelayanan yang memperlihatkan hahwa belum ditemukan
kesamaan persepsi antara harapan pengguna jasa dan pemberi layanan terhadap kualitas
pelayanan yang diberikan.
Aparat
birokrasi pelayanan di ketiga daerah penelitian terlihat masih membuka jurang
komunikasi yang lebar dengan masyarakat pcngguna jasa. Tidak transparannya
aparat birokrasi pelayanan pertanahan, misalnya, merupakan salah satu indikasi
belum adanya pengembangan komunikasi eksternal di kalangan aparat birokrasi
dengan rnasyarakat pengguna jasa. Tidak transparannya komunikasi dan birokrasi
yang menyangkut pemberian pelayanan menyebabkan pihak masyarakat pengguna jasa
selalu berada pada posisi yang dimikan.
Tidak
adanya transparansi informasi dari birokrasi tersebut membuat banyak masyarakat
pengguna jasa mengalami frustasi. Kornunikasi yang tidak efektif yang selama
ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa birokrasi belum
mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
pengguna jasa.
Responsivitas
pemberian pelayanan publik salah satunya diukur melalui keterbukaan informasi
dan seberapa jauh interaksi komunikasi yang terjalin antara birokrasi sebagai
pemberi layanan dengan masyarakat pengguna jasa. Kasus di atas memperlihatkan
gambaran bahwa masyarakat pengguna jasa seringkali belum mempunyai akses
terhadap informasi pelayanan yang dibutuhkan, demikian pula kecenderungan
aparat birokrasi justru terkesan menyembunyikan informasi kepada masyarakat.
Dalam iklim komunikasi pelayanan yng tertutup seperti ini, sangat sulit untuk
dapat mewujudkan responsivitas aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
kepada publik.
E.Orientasi
pada Pelayanan
Orientasi
pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dirmanfaatkan
untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pemberian pelayanan yang baik
dapat dilihat dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi
secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan. Idealisnya,
segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat birokrasi hanya
dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk melayani kebutuhan dan kepentingan
pengguna jasa.
Kemampuan
dan sumber daya aparat birokrasi sangat diperlukan agar orientasi pada
pelayanan dapat dicapai. Contohnya, antara lain, adalah masalah penyediaan
waktu kerja aparat yang benar-benar berorientasi pada pemberian pelayanan
kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal adalah aparat birokrasi yang
tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas pelayanan kepada
masyarakat.
Aparat
pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan
lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat mengganggu
tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan aparat birokrasi akan
dapat maksimal apabila bila semua waktu dan konsentrasi aparat benar-benar
tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa.
Kondisi
pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk diwujudkan
dalam birokrasi. Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi pembagian
kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan tugas kepada
aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi pekerjaan,
dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan kepada
masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan beberapa fakta penyebab sulitnya aparat
birokrasi berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat.
Aparat birokrasi seringkali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain di luar tugas pelayanan.
Kondisi
tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu. Masih seringnya
aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, erat
kaitannya dengan adanya tugas-tugas tambahan yang dibebankan oleh pimpinan
kepada aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas pelayanan langsung
kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa aparat birokrasi di
tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan tingkatan pemerintahan
terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
Aparat
pelayanan seringkali diperintahkan oleh pimpinan kantor desa atau kecamatan
untuk menghadiri kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, scperti mewakili camat atau
lurah melayat warga yang meninggal dunia, ikut serta dalam kegiatan posyandu,
safari KB, pertemuan RW, atau pertemuan rapat warga lainnya, yang dilakukan
pada saat jam pelayanan.
Penugasan
aparat untuk dinas luar oleh pihak pimpinan kantor pada saat jam pelayanan
masih seringkali ditemukan di beberapa kantor pelayanan baik di lingkungan
kantor pelayanan desa, kecamatan, kantor pertanahan maupun kantor pelayanan
perizinan. Kegiatan dinas luar yang seringkali dilakukan oleh aparat birokrasi
adalah melakukan kegiatan peninjauan suatu kegiatan atau membantu pekerjaan dan
seksi lainnya. Banyak ditemukan aparat pelayanan yang membantu tugas-tugas dari
seksi atau bagian lainnya sehingga tugas pokoknya menjadi terbengkalai, seperti
seorang kepala seksi pelayanan harus ikut dalam kegiatan penataan arsip,
mengurusi surat menyurat, menjaga dan menerima telepon kantor, atau bahkan
penyelenggaraan pasar murah atau sekaten.
Tugas-tugas
tersebut belum termasuk tugas-tugas untuk kepentingan pribadi yang diberikan
oleh pimpinan, seperti mengerjakan tugas-tugas kantor yang seharusnya menjadi
bagian tugas pimpinan, menemani tamu kantor atau tamu pimpinan, menyampaikan
suatu surat pembenitahuan ke kantor-kantor kelurahan, atau mewakili camat
keliling kecamatan untuk memantau dan melakukan pembinaan kepada masyarakat.
Pada akhirnya ketidakberadaan petugas pelayanan menyebabkan pemberian pelayanan
terhadap pengguna jasa menjadi lambat sehingga kinerja pelayanan publik menjadi
buruk.
Alasan
yang seringkali dikemukakan oleh pimpinan kantor untuk menugaskan aparat
pelayanan mengerjakan tugas lain pada saat-saat jam pelayanan adalah karena
terbatasnya jumlah personil aparat pelayanan. Para pimpinan kantor, sebagaimana
yang seringkali diungkapkan oleh para aparat, seringkali menggunakan alasan
“pokokke endi sing selo”, atau pokoknya siapa saja aparat yang dianggap
memiliki waktu luang, maka akan ditugaskan untuk dinas luar.
Manajemen
pembagian tugas dan sebagian besar pimpinan birokrasi yang belum mencerminkan
gaya seorang manajer tersebut menjadikan pola pembagian tugas dalam birokrasi
antara urusan adimnistratif, tugas pimpinan, dan tugas pelayanan menjadi
bercampur. Pimpinan birokrasi seningKali belwn dapat membedakan antara tugas
pnibadi pimpinan, tugas pimpinan kantor yang tidak dapat diwakilkan kepada
bawahan, dan tugas pelayanan masyarakat dan aparat pelayanan sehingga
seningkali menyebabkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat cenderung dapat
dikalahkan oleh kepentingan pribadi pimpinan atau tugas-tuas pimpinan lainnya.
Pada
sisi output pelayanan, birokrasi secara ideal harus dapat memberikan produk
pelayanan yang berkualitas, terutama dan aspek biaya dan waktu pelayanan.
Efisinsi pada sisi input dipergunakan untuk melihat seberapa jauh kemudahan
akses publik terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.
Akses
publik terhadap pelayanan dipandang efisien apabila publik memiliki jaininan
atau kepastian menyangkut biaya pelayanan. Kepastian biaya pelayanan yang hams
dike1irkan oleh publik merupakan indikator penting untuk melihat intensitas
korupsi dalam sistem layanan birokrasi. Birokrasi pelayanan publik yang korup
akan ditandaj oleh besarnya biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh pengguna
jasa dalam mengakses layanan. Publik, dengan demikian, harus mengeluarkan baya
ekstra untuk dapat memperoleh pelayanan yang terbaik dan birokrasi, padahal
secara prinsip seharusnya pelayanan terbaik harus dapat dinikmati oleh publik
secara keseluruhan.
Demikian
pula efisiensi pelayanan dan sisi output, dipergunakan untuk melihat pemberian
produk pelayanan oleh birokrasi tanpa disertai adanya tindakan pemaksaan kepada
publik untuk mengeluarkan biaya ekstra pelayanan, seperti suap, sumbangan
sukarela, dan berbagai pungutan dalam proses pelayanan yang sedang berlangsung.
Dalam kultur pelayanan birokrasj di Indonesia, telah lama dikenal istilah ‘tahu
sania taint’, yang berarti adanya toleransi dan pihak aparat birokrasi maupun
masyarakat pengguna jasa untuk menggunakan mekanisme suap dan mendapatkan
pelayanan yang terbaik.
Kecenderungan
aparat birokrasi untuk menerima pemberian uang dan masyarakat pengguna jasa
tersebut disebabkan masih adanva budaya upeti dalam sistem pelayanan publik di
Indonesia. Budaya pelayanan yang dikembangkan semenjak masa birokrasi keraiaan
tersebut pada dasarnya menempatkan aparat birokrasi sebagai pihak yang harus
dilayani oleh masyarakat, pelayanan yang hams dilakukan oleh masyarakat
tersebut ialah dalam rangka memperoleh patron di dalam birokrasi yang
sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk membangun akses ke birokrasi. Mekanisme
pemberian hiaya ekstra dalam praktik pelayanan birokrasi sesungguhnya
memperlihatkan berbagai faktor yang sangat kompleks, seperti menyangkut masalah
kultur psikologis, sistem pelayanan, mekanisme pengawasan, serta mentalitas
aparat maupun pengguna jasa sendiri.
Praktik
pelayanan dengan membenikan uang ekstra kepada apara birokrasi tersebut telah
menjadi suatu kebiasaan umum di lingkunga birokrasi. Aparat birokrasi xnenjadi
terbiasa dalam budaya pelayana yang mengharapkan adanya pemberian uang dan
masyarakat. Apabila dalam memberikan pelayanan pengguna jasa tidak memberikan
imbalan dalam bentuk uang ekstra tersebut, biasanya aparat dalarn bckcrja
terkesan ogah-ogahan atau seenaknya sendiri. Sebaliknya, semakin besar jmbalan
yang diberikan masyarakat pengguna jasa akan semakin memacu motivasi keqa
aparat dalam melayani masyarakat pengguna jasa tersebut.
Selain
ditinjau dan segi biaya, efisensi pelayanan publik juga ditinjau dan scgi waktu
pelayanan. Keluhan yang dialami oleh pengguna jasa menyangkut waktu pelayanan
adalah ketidakjelasan waktu pelayanan. Sebenarnya banyak pengguna jasa yang
tidak berkeberatan untuk membayar mahal kalau jelas perinciannya untuk
keperluan apa, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Akan tetapi, waktu yang
diperlukan untuk mengurus pelayanan publik sangat tidak jelas.
Urusan
yang sama sangat mungkin membutuhkan biaya dan waktu yang jauh berbeda.
Menurut petugas pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala iiLternal meliputi pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas SDM rendah, dan koordinasi antarunit. Selain itu, faktor kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Menurut petugas pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala iiLternal meliputi pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas SDM rendah, dan koordinasi antarunit. Selain itu, faktor kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Kualitas
SDM yang rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas memberikan
solusi kepada customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan tindakan
diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan mempengaruhi
peinikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dan atasan dan harus
berpegang teguh kepada juklak/juknis sehingga ketika seorang pengguna jasa
memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu mcmenuhinya karena harus
menunggu instruksi atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan publik
menjadi memerlukan waktu pelayanan yang relatif lebih lama.
Koordinasi
antarunit seringkali menghambat pemberian pelayanan karena waktu yang
dibutuhkan menjadi lebih lama. Kendala lain yang dihadapi adalah kendala
eksternal yaitu kendala yang disebabkan oleh pengguna jasa itu sendiri seperti
ketidaklengkapan dokumen, pengguna jasa tidak kooperatif dan ketiadaan
koordinasi antarinstansi seperti dari kelurahan ke kecamatan. Masalah ketidaklengkapan
persyaratan/dokumen yang harus dilengkapi oleh pengguna jasa seringkali membuat
aparat menolak memberikan pelayanan.
Pengguna
jasa disarankan untuk melengkapinya terlebih dahulu. Di sini yang menjadi
persoalan adalah ketika lokasi tempat tinggal seorang pengguna jasa jauh dan
instansi tersebut dan masalah kesibukan pengguna jasa membuat penyelesaian
urusan menjadi lebih lama. Hal tersebut diakui oleh aparat sebagai penyebab
utama kelambatan, tetapi jarang sekali aparat yang mempunyai inisiatif untuk
tetap memproses berkas-berkas urusan tersebut dan kekurangan persyaratan
dilengkapi kemudian. Bagi aparat, apabila tetap diproses, akan menyulitkan
kerja mereka sendiri.
Pengguna
jasa juga seringkali tidak kooperatif maksudnya yaitu bahwa kadangkala pengguna
jasa menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan urusannya meskipun melanggar
peraturan.
Kinerja Pelayanan Publik menghasilkan kesimpulan mengenai rçndahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Pada hakikatnya, pelayanan publik dirancang dan diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Namun, persepsi antara masyarakat penggun jasa dan aparat birokrasi mengenai kualitas pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti dan adil belum berhasil diwujudkan.
Kinerja Pelayanan Publik menghasilkan kesimpulan mengenai rçndahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Pada hakikatnya, pelayanan publik dirancang dan diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Namun, persepsi antara masyarakat penggun jasa dan aparat birokrasi mengenai kualitas pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti dan adil belum berhasil diwujudkan.
Sebagai
penyelenggara pelayanan publik, birokrasi pemerintah gagal dalam merespons
dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan publik cenderung menjadi tidak
efisien dan tidak responsif. Bahkan, berbagai bentuk patologi birokrasi telah
berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akibatnya, muncul banyak
praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan yang amat merugikan masyarakat
pengguna jasa. Kinerja pelayanan publik yang buruk ini adalah hasil dan
kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi Indonesia
F.Penutup
Perlu
dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan
irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar
sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat
pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan
mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif,
antisipatif dan proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang
semua orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan
kemanusian, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.
Birokrasi
yang propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi Indonesia ke
depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarakat
untuk berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi kadar pengawasan dan represi
terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan cara-cara penguasaan
masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap dominasi.
Birokrasi
bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat
(public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak
terjadi pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi sebagai
hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility)
lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan
yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses
demokratisasi.
Birokrasi
yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas
dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani
masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian.
Birokrasi
yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper
test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme.
Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan
imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja
yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment
kurang berjalan).
KONSEP
BIROKRASI
Birokrasi
merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak
mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas
utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat
(social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa
yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung
maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang
terbaik bagi rakyatnya.
Untuk
itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani
kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.Birokrasi bagi
sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan
menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif
yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku
masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban dalam
hal mengelola berbagai sumber daya yang mendistribusikan sumber daya tersebut
kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.
Pendapat
yang berbeda di atas dapat dipahami dari perspektifnya masing-masing. Bagi yang
berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi adalah sebuah
keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan negatif maka birokrasi
justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan sehingga keberadaan
birokrasi harus dihilangkan.
Dalam
pembahasan ini, akan dikupas tentang makna birokrasi dari berbagai perspektif
dan kemudian disimpulkan tentang apa birokrasi itu sesungguhnya dan bagaimana
seharusnya birokrasi itu dijalankan oleh aparat birokrasi yang disebut sebagai
birokrat.
PENGERTIAN
BIROKRASI
Sejauh
ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian, yaitu: Pertama, menunjuk pada
kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan birokrasi
dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian sumberdaya dalam
suatu organisasi besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah pengambilan
keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang
membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini
lebih menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi (Downs, 1967 dalam Thoha,
2003). Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang
berfungsi dalam pemerintahan (Castle, Suyatno, dan Nurhadiantomo, 1983).
Dalam
kehidupan sehari-hari istilah Birokrasi setidak-tidaknya dimaknai sebagai
berikut (Albrow dalam Zauhar, 1996):
1.
Bureaucracy as Rational Organization
Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi dimaknai sebagai suatu organisasi yang rasional dalam melaksanakan setiap aktivitasnya. Setiap tindakan birokrasi hendaknya mengacu pada pertimbangan-pertimbangan rasional.
Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi dimaknai sebagai suatu organisasi yang rasional dalam melaksanakan setiap aktivitasnya. Setiap tindakan birokrasi hendaknya mengacu pada pertimbangan-pertimbangan rasional.
1.
Bureaucracy as Rule by Official
Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai aturan yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati.
Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai aturan yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati.
1.
Bureaucracy as Organizational Ineficiency
Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi. Pemborosan (ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi waktu, tenaga, finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik birokrasi untuk memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi layanan yang tidak efisien dan mengecewakan masyarakat.
Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi. Pemborosan (ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi waktu, tenaga, finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik birokrasi untuk memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi layanan yang tidak efisien dan mengecewakan masyarakat.
Karena
itu masyarakat menjadi apatis terhadap berbagai slogan efisiensi yang
disampaikan oleh aparat birokrasi. Semangat debirokratisasi menjadi tidak
bermakna karena tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku para pejabat yang
tidak konsisten dan konsekuen dengan pernyataannya. Birokrasi justru dianggap
sebagai tempat bersarangnya berbagai penyakit organisasi modern seperti
pembengkakan pegawai, biaya tinggi dan sulit beradaptasi dengan lingkungannya.
1.
Bureaucracy as Public Administration
Birokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi dalam hal ini disama artikan dengan administrasi publik. Administrasi Publik adalah proses pengelolaan sumber daya publik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Birokrasi adalah unsur pelaksana dari administrasi publik agar tujuan pelayanan kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan rasional.
Birokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi dalam hal ini disama artikan dengan administrasi publik. Administrasi Publik adalah proses pengelolaan sumber daya publik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Birokrasi adalah unsur pelaksana dari administrasi publik agar tujuan pelayanan kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan rasional.
1.
Bureaucracy as Administration by Officials
Birokrasi sebagai Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai. Dalam hal ini pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama dengan bureaucracy as rule by official dan bureaucracy as public administration.
Birokrasi sebagai Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai. Dalam hal ini pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama dengan bureaucracy as rule by official dan bureaucracy as public administration.
1.
Bureaucracy as the Organization
Birokrasi sebagai Organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi memiliki struktur dan aturan-aturan yang jelas dan formal. Organisasi merupakan suatu sistem kerjasama yang melibatkan banyak orang, dimana setiap orang mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang saling mendukung demi tercapainya tujuan organisasi.
Birokrasi sebagai Organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi memiliki struktur dan aturan-aturan yang jelas dan formal. Organisasi merupakan suatu sistem kerjasama yang melibatkan banyak orang, dimana setiap orang mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang saling mendukung demi tercapainya tujuan organisasi.
Organisasi
sebagai sistem kerjasama berarti: (a) sistem mengenai pekerjaan-pekerjaan yang
dirumuskan secara baik, dimana masing-masing mengandung wewenang, tugas dan
tanggung jawab yang memungkinkan setiap orang dapat bekerjasama secara efektif;
(b) sistem penugasan pekerjaan kepada orang-orang berdasarkan kekhususan bidang
kerja masing-masing; (c) sistem yang terencana dari suatu bentuk kerjasama yang
memberikan peran tertentu untuk dilaksanakan kepada anggotanya.
1.
Bureaucracy as Modern Society
Birokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi masyarakat modern keberaturan merupakan sebuah kemestian. Keberaturan itu dapat dicapai jika dilaksanakan oleh suatu institusi formal yang dapat mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat. Institusi formal itu adalah birokrasi.
Secara etimologi Birokrasi berasal dari istilah ‘buralist’ yang dikembangkan oleh Reiheer von Stein pada 1821, kemudian menjadi ‘bureaucracy’ yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersoal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).
Birokrasi menurut Evers dalam Zauhar (1996) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu:
Birokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi masyarakat modern keberaturan merupakan sebuah kemestian. Keberaturan itu dapat dicapai jika dilaksanakan oleh suatu institusi formal yang dapat mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat. Institusi formal itu adalah birokrasi.
Secara etimologi Birokrasi berasal dari istilah ‘buralist’ yang dikembangkan oleh Reiheer von Stein pada 1821, kemudian menjadi ‘bureaucracy’ yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersoal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).
Birokrasi menurut Evers dalam Zauhar (1996) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu:
1.Birokrasi
dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi
publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber tentang birokrasi, dan oleh
Evers dinamakan Birokrasi Weber (BW).
2.Birokrasi
dipandang sebagai bentuk organisasi yang membengkak dan jumlah pegawai yang
besar. Konsep inilah yang sering disebut Parkinson Law.
3.Birokrasi
dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol
kegiatan masyarakat. Oleh Evers (dalam Zauhar) disebut Orwelisasi.
Dengan
demikian maka Istilah Birokrasi dalam masyarakat dimaknai secara diametral
(bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik temu):
1.Secara
Positif: Birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan
tertentu. Dengan adanya alat yang efisien dan efektif ini maka tujuan suatu
organisasi (privat maupun publik) lebih mudah tercapai.
2.Secara
Negatif: Birokrasi sebagai alat untuk memperoleh, mempertahankan dan
melaksanakan kekuasaan. Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan
(inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tatacara yang
berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat
pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap
perbedaan pendapat (constrain of dissent). Birokrasi seperti ini menurut Marx
bersifat parasitik dan eksploitatif.
Dengan demikian maka Birokrasi dapat juga dimaknai sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam suatu organisasi (baik publik maupun swasta) yang mengatur secara ke dalam maupun keluar.
Dengan demikian maka Birokrasi dapat juga dimaknai sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam suatu organisasi (baik publik maupun swasta) yang mengatur secara ke dalam maupun keluar.
Mengatur
ke dalam berarti berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan atau
interaksi antara manusia dalam organisasi juga antara manusia dengan sumber
daya organisasi lainnya. Sedangkan mengatur keluar berarti berhubungan dengan
interaksi antara organisasi dengan pihak lain baik dengan lembaga lain maupun
dengan individu-individu.
Konsep
birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip organisasi yang
dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun birokrasi yang
keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik. Mouzelis
menambahkan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional,
struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi
yang setinggi-tingginya.
Di
samping diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga sering
dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi dimaknai
sebagai sebagai suatu proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang
mahal dan menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada anggapan bahwa
birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil.
Biasanya
masalah administrasi yang kompleks dan ruwet terdapat pada organisasi besar,
seperti organisasi pemerintahan. Akan tetapi, sebenarnya birokrasi tidak
dibatasi hanya pada institusi sektor publik saja. Serikat Dagang, Universitas,
dan LSM merupakan contoh birokrasi di luar pemerintah.
Berikut
ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:
1.
Max Weber
Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat produksi.
Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat produksi.
Tetapi
pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia memiliki otoritas.
Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama inilah sumbangannya,
ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan tercakup dalam
administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya sendiri dan
fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber membicarakan pejabat-pejabat
administrasi adalah bertele-tele.
Meskipun
demikian konsep tersebut muncul pertama kalinya. Perwira Tentara, Pendeta,
Manajer Pabrik semuanya adalah pejabat yang menghabiskan waktunya untuk
menginterpretasikan dan memindahkan instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat
birokrasi adalah orang yang diangkat, bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini
Weber telah hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan terhadap
birokrasi.
Weber
memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok
dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh
proses sosial (Sarundajang, 2003).
1.
Farel Heady (1989):
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan.
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan.
Sedangkan
kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat hendaknya orang
yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang birokrat
bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan wewenangnya, melainkan
orang yang sangat profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.
1.
Hegel:
Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat.
Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat.
Hegel
melihat, bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan
antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat
tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam
rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan
masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.
1.
Karl Marx
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis.
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis.
Dalam
pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang
diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the
have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.
Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap
rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang
sebenarnya hanya menjadi alat saja.
1.
Blau dan Meyer
Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tata cara yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent). Dengan demikian Blau dan Meyer melihat bahwa birokrasi adalah sesuatu yang negatif yang hanya akan menjadi masalah bagi masyarakat.
Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tata cara yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent). Dengan demikian Blau dan Meyer melihat bahwa birokrasi adalah sesuatu yang negatif yang hanya akan menjadi masalah bagi masyarakat.
1.
Yahya Muhaimin
keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
1.
Almond and Powell (1966):
The Governmental Bureaucracy is a group of formally organized offices and duties, lnked in a complex grading subordinates to the formal roler maker (Birokrasi Pemerintahan adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal)
The Governmental Bureaucracy is a group of formally organized offices and duties, lnked in a complex grading subordinates to the formal roler maker (Birokrasi Pemerintahan adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal)
Dari
berbagai pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa Birokrasi sesungguhnya
dapat dipahami dan diberi pengertian sebagai suatu sistem kerja yang berlaku
dalam organisasi yang mengatur interaksi sosial baik ke dalam maupun keluar.
Secara spesifik birokrasi publik (pemerintahan) dapat dimaknai sebagai
institusi atau agen pemerintahan yang dilengkapi dengan otoritas sistematik dan
rasional dengan aturan-aturan yang lugas (a system of authority relations
defined by rationally developed rule) (Chandler and Plano, 1982 dalam Hariyoso,
2002).
TIPOLOGI
BIROKRASI PUBLIK
Tipologi
birokrasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Menurut Zauhar (1996) dilihat dari
perspektif otoritasnya, dikenal adanya birokrasi tradisional, birokrasi
karismatik, dan birokrasi legal rasional.
Sumber
legitimasi Birokrasi Tradisional adalah waktu, yang bersumber pada established
belief in the sanctity of immerial traditions and the legitimacy of the status
of those exercising under them. Sumber legitimasi Birokrasi Kharismatis, adalah
kepribadian yang luar biasa yang dimiliki pemimpin, dan bersumber pada devotion
to the spesific and exemplary character of an individual person and the
normative patterns or orde revealed ordainded by him.
Birokrasi
Legal Rasional bersumber pada aturan aturan yang dibuat untuk mencapai tujuan
tertentu. Oleh karenanya Birokrasi Legal Rasional bersumber pada the legality
of patterns of normative rules and the right of these elevated to authority
under such rules to issue commands. Jenis yang terakhir ini yang menurut Weber
(dalam Zauhar, 1996) merupakan unsur terpenting bagi pertumbuhan dan
perkembangan organisasi.
Dari
perspektif derajat keterbukaan, Lee (1971) dalam Zauhar (1996)
mengklasifikasikan ke dalam birokrasi terbuka, campuran, dan tertutup. Yang
dimaksud birokrasi terbuka, derajat keterbukaan birokrasi dapat dilihat pada
aksesibilitas masyarakat untuk berhubungan dengan birokrasi, luasnya
pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain untuk memasuki jajaran
birokrasi tingkat menengah dan tinggi, serta derajat kesediaan birokrasi untuk
mendistribusikan kekuasaannya kepada kelompok lain.
Dalam
birokasi tertutup, ditandai dengan adanya ciri yang sangat elitis dikalangan
birokrasi dan mereka menjadi kelas yang memiliki hak privelese tertentu. Untuk
bisa masuk ke birokrasi harus melalui ujian pamong praja dikaitkan dengan
lamanya kuliah di perguruan tinggi. Rotasi antar bagian bisa terjadi, namun tak
diikuti dengan pemberian fasilitas. Kesetiaan para pamong kepada pekerjaannya.
Moral mereka sangat tinggi namun orientasinya menjadi sempit.
Birokrasi
campuran, menurut Zauhar (1996) merupakan tipe birokrasi hasil kontak yang
terbatas antara birokrasi dengan masyarakat. Kontak yang agak terbatas tersebut
dapat diawali dengan masuknya individu ke dalam jajaran birokrasi pemerintahan
guna mengurangi kelemahan birokrasi, seperti kekurangmampuan birokrasi lama
untuk merencanakan, statistik, industrialisasi dan lain lain. Keterbatasan itu
pula maka terbuka dari masuknya para ekspert (ahli) baik dari kalangan
perguruan tinggi maupun dari luar negeri.
Sementara
itu, menurut Hariandja (1999), ada perbedaan yang signifikan antara pandangan
umum tentang birokrasi dalam suatu keseharian dan sudut pandang ilmiah
metodologis. Bagi awam, birokrasi mengingatkan pada struktur yang lamban,
kekusutan prosedural, kaku, tidak efisian dan sebagainya.
Dalam
banyak hal “kebenaran umum” (public image) ini tidak sepenuhnya salah.
Berbagai kasus menunjukkan, birokrasi lebih melayani dirinya dan kepentingan kliennya daripada mendahulukan kepentingan umum. Tidak jarang ia juga menjadi alat politik dari suatu kekuatan politik tertentu. Hal semacam itu tentu seharusnya tidak terjadi. Karena penjelasan mengenai birokrasi yang dilakukan secara ilmiah harus mencakup usaha untuk menguji hubungan administratif dan aparatur manajerial dalam kerangka konteks sosial yang spesifik, tempat birokrasi dibentuk.
Berbagai kasus menunjukkan, birokrasi lebih melayani dirinya dan kepentingan kliennya daripada mendahulukan kepentingan umum. Tidak jarang ia juga menjadi alat politik dari suatu kekuatan politik tertentu. Hal semacam itu tentu seharusnya tidak terjadi. Karena penjelasan mengenai birokrasi yang dilakukan secara ilmiah harus mencakup usaha untuk menguji hubungan administratif dan aparatur manajerial dalam kerangka konteks sosial yang spesifik, tempat birokrasi dibentuk.
Dengan
demikian maka tipologi birokrasi dapat dibedakan menjadi 3, yakni (Zauhar,
1996);
1.Birokrasi Tradisional (bersumber pada Waktu)
2.Birokrasi Kharismatik (bersumber pada kepribadian)
3.Birokrasi Legal-rasional (bersumber pada aturan-aturan yang legal)
1.Birokrasi Tradisional (bersumber pada Waktu)
2.Birokrasi Kharismatik (bersumber pada kepribadian)
3.Birokrasi Legal-rasional (bersumber pada aturan-aturan yang legal)
Birokrasi
yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi adalah birokrasi yang
legal-rasional. Karena itu juga disebut sebagai birorasionalitas atau
biro-efisiensi. Sedangkan birokrasi yang tidak mampu meningkatkan efisiensi disebut
sebagai biropatologi (Zauhar, 1996).
PENDEKATAN
DALAM MEMAHAMI BIROKRASI
Dalam
memahami Birokrasi dapat digunakan 3 Pendekatan (Zauhar, 1996):
1.
Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat
administrasi publik (Birokrasi Weber). Pemikiran Max Weber yang yelah dikupas
tuntas oleh Martin Albrow menjelaskan bahwa Weber tidak pernah mendefinisikan
birokrasi. Biasanya ia telah diasumsikan membuat definisi tersebut dan
kegagalannya untuk membuat demikian bertentangan dengan usahanya untuk
mendefinisikan konsep-konsep analisis organisasi lain. Memang jelas bahwa Weber
tidak menganggap istilah “birokrasi” sebagai bahasa ilmu sosial.
Apa
yang dikerjakannya secara hati-hati adalah merinci segi-segi apa yang
dipandangnya sebagai bentu birokrasi yang paling rasional. Salah satu petunjuk
bagi konsep umum Birokrasi Weber, tampak dalam identifikasinya terhadap jenis
birokrasi yang lain terpisah dari tipe paling rasional.
Inilah
Birokrasi Patrimonial. Birokrasi Patrimonial ini berbeda dengan birokrasi
rasional terutama karena para pejabat yang bekerja tidak bebas dibanding
orang-orang yang diangkat secara kontraktual. Weber menemukan contoh-contoh
tersebut dalam Imperium Romawi terakhir, dalam Mesir Kuno dan dalam Imperium
Bizantium. Namun demikian, hakekat gagasan birokrasi patrimonial adalah
keberadaan suatu badan. Konsep tentang pejabat (Beamter) merupakan dasar bagi
konsep tentang birokasi. Hal itu diperkuat dengan seringnya Weber dalam
berbagai kesempatan menggunakan breamtentum (staf pegawai) sebagai suatu
alternatif bagi birokrasi (Sarundajang, 2003).
2.
Birokasi dipandang sebagai organisasi yang membengkak dan jumlah pegawainya
besar (Parkinson Law). Parkinson Law mengatakan:
a.Setiap Pegawai Negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya
b.Setiap Pegawai Pegeri akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya
c.Karena itu laju birokrasi akan meningkat dan jumlah pegawai akan naik secara otomatis tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan
a.Setiap Pegawai Negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya
b.Setiap Pegawai Pegeri akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya
c.Karena itu laju birokrasi akan meningkat dan jumlah pegawai akan naik secara otomatis tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan
1.
Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud
mengontrol kegiatan masyarakat (Orwelisasi).
KARAKTERISTIK
IDEAL BIROKRASI
Ilmuwan
yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori birokrasi adalah Max Weber,
seorang sosiolog jerman yang juga ahli hukum.
Weber
pernah menulis buku wirtschaft und gesellchaft (teori organisasi sosial dan
ekonomi) yang didalamnya terdapat salah satu bab mengenai birokrasi. Karya itu
sampai sekarang dikenal konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini
kurang dikenal tentang kritiknya terhadap seberapa jauh peran birokrasi
terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran politik terhadap birokrasi.
Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu
secara profesional dan rasional dijalankan.
Menurutnya,
birokrasi dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai “kehidupan kerja yang
rutin” (routines of workday life). Untuk menyeimbangkan kerja rutin tersebut,
ia memperkenalkan gagasan mengenai “charisma” yang direfleksikan dalam bentuk
kepemimpinan yang kharismatik. Weber mengamati bahwa birokrasi membentuk proses
administrasi yang rutin sama persis dengan mesin pada proses produksi.
Dalam
model yang diajukan Weber, birokrasi memiliki karakteristik ideal sebagai
berikut (dalam Islamy, 2003):
1.
Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)
Dalam
menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan
menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang
khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi.
Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa
dilakukan dan setiap mereka bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya
masing-masing.
Aktivitas
yang reguler mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan dengan cara yang
tetap dengan tugas-tugas kantor (official duties). Pemisahan tugas secara tegas
memungkinkan untuk memperkerjakan ahli yang terspesialisasi pada setiap posisi
dan menyebabkan setiap orang bertanggungjawab terhadap kinerja yang efektif
atas tugas-tugasnya. Karena itu tugas-tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh
masing-masing pegawai yang benar-benar memiliki keahlian khusus (specialized
expert) dan bertanggung jawab demi tercapainya tujuan organisasi secara efektif
dan efisien.
2.
Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang. Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti pula semakin besar wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya.
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang. Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti pula semakin besar wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya.
Hierarki
wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung jawab. Dalam
hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh
anak buahnya. Pada setiap tingkat hierarki, para pejabat birokrasi memiliki hak
memberi perintah dan pengarahan pada bawahannya, dan para bawahan itu
berkewajiban untuk mematuhinya. Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang
memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya pada masalah-masalah yang
berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintahan.
Organisasi
birokrasi mengikuti prinsip hirarki sehingga setiap unit yang lebih rendah
berada dalam pengendalian dan pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Setiap
pegawai dalam hirarki administrasi bertanggungjawab kepada atasannya.
Keputusan
dan tindakan harus dimintakan persetujuan kepada atasan. Agar dapat membebankan
tanggungjawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/ kekuasaan atas
bawahannya sehingga ia mempun¬yai hak untuk mengeluarkan perintah untuk ditaati
dan dilaksanakan oleh bawahan. Meskipun masing-masing pegawai yang berada pada
jenjang mempunyai otoritas-birokratis tetapi penggunaan otoritas tersebut tetap
harus relevan dengan tugas-tugas resmi organisasi.
3.
Adanya sistem aturan (system of rules)
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.
Operasi
kegiatan dalam birokrasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati
secara konsisten. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya unuformitas kinerja
setiap tugas dan rasa tanggung jawab masing-masing anggota organisasi bagi
pelaksanaan tugasnya.
Sistem
yang distandarkan ini dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam
melaksanakan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang melaksanakan
dan koordinasi tugas – tugas yang berbeda-beda. Aturan-aturan yang eksplisit
tersebut menentukan tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan
diantara mereka, namun tidak berarti bahwa kewajiban birokrasi sangat mudah dan
rutin. Tugas – tugas birokrasi memiliki kompleksitas yang bervariasi, dari
tugas-tugas klerikal yang sifatnya rutin hingga tugas – tugas yang sulit.
4.
Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)
Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya.
Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar