INTEGRASI IMAN’ILMU
DAN AMAL
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu
pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak
lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas
ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul
menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap
secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu
memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]
Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan
yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu
pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara
islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan
manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka
berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan
agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya
memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah
menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi
“penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.[2]
Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan
teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia.
Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses
pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia
seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]
Untuk mencapai
sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu
umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas
nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara
disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus
tanpa kenal henti.
Buka masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu
agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial
dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.[4]
B. Permasalahan
Permasalahan yang
penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau menyatukan ilmu-ilmu
keislaman dengan ilmu-ilmu umum.
II. PEMBAHASAN
Sebelum sampai
kepada pembahasan penyatuan /integrasi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu
umum, maka akan dibahas terlebih dahulu tentang : Alquran dan ilmu
pengetahuan, rekonstruksi sains Islam, suatu integrasi ilmu pengetahuan Islam
dan umum.
A. Alquran dan Ilmu Pengetahuan (Sains)
Alquran
diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi
pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat
al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran
menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan
orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang
menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun,
adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti
yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
diketahuinya.[5]
Disamping itu, Alquran menghargai panca indra
dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan.
(QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmu>d Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini
mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya
itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci
pembuka pengetahuan yang rasional.[6]
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh
Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu
dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an
al-Karim.Namun Imam Al-Sy>athibi (w.
1388 M), tidak sependapat dengan Al-Gazali.[7]
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas
hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan
menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya
diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian
Alquran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu
melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan,
ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa
ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta
adakah satu ayat Alquran yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah
mapan?[8]
Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran
sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai
cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma
Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan
pada paradigma Alquran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan
alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi
teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah
ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia
akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional
yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia
sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu
pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.[9]
B. Rekontruksi
Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam
perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan
ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu
pengetahuan.
Kondisi seperti
ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks
Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan.
Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh
departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah
naungan DEPAG sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS.
Pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan
Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan
pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata pandangan dikotomis yang
menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing dari disiplin
ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam
mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai masalah
dengan multidimensional approach (pendekatan dari berbagai sudut pandang). Oleh
karena itu wajarlah jika dikotomi ilmu pengetahuan mendapatkan gugatan dari
masyarakat, termasuk gugatan dari para ilmuan muslim melalui wacana Islamisasi
ilmu pengetahuan.[10]
Muhammad Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah
mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan sejarah umat Islam, ketika bangunan
keilmuan natural sciences (al-ulu>m al-kauniyyah) menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali
dengan ilmu-ilmu keislaman yang pondasi dasarnya adalah “teks” atau nash.
Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama
yang dikenal menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biru>ni
(w. 1041) seorang ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli
kedokteran, Ibn Haitsam (w.1039) seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang
perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama
sekali tidak mengenalnya lagi, lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu
kealaman yang berkembang sekarang ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada sekarang.[11]
Selain
ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan di atas masih banyak ilmuan lain yang
terkenal diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl Ha>tim an-Nizari (w-922) seorang
ahli astronomi, Umar Ibn Ibrahim al-Khayyami (w.1123) yang lebih di kenal
dengan Umar Khayyam penulis buku aljabar, Muhammad al-Syarif al-Idrisi
(1100-1166) ahli ilmu bumi.
Pada periode klasik Islam ini (Abad VII-XIII)
dijuluki The golden age of Islam, telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada beberapa
faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu:
1. Agama
Islam sebagai motivasi.
2. Kesatuan
bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah.
3. Kebijakan
pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
4. Didirikannya
akademi, Laboratorium, dan perpustakaan sebagai sarana pengembangan ilmu.
5. Ketekunan
ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen.
6. Pandangan
Internasional yang membuka isolasi dengan dunia luar.
7. Penguasaan
terhadap bekas wilayah pengembangan filsafat klasik Yunani.
Pada periode klasik Islam tidak
terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah dikembangkan ilmu pengetahuan
yang bersumber dari Alquran dan hadis dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari
alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam satu kerangka yaitu pengetahuan
Islam.[12]
Sesudah periode klasik ini, yaitu sejak abad
XIII, Ilmu pengetahuan Islam mulai mengalami kemunduran, produktivitas
ilmuan-ilmuan muslim sangat berkurang. Di dunia barat justru terjadi
sebaliknya, warisan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam
dikembangkan, sehingga mengantar mereka mencapai dunia baru melalui pintu
gerbangrenaissance, dan reformasi.
Kondisi seperti ini mempengaruhi struktur ilmu pengetahuan dalam Islam.
Ilmu pengetahuan yang dikaji dari Alquran dan
hadis yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam, sedangkan ilmu pengetahuan
yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan dari struktur ilmu
pengetahuan Islam. Dengan demikian muncullah dikotomi ilmu pengetahuan Islam
dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak
negatif, misalnya teknologi nuklir bisa menjadi senjata pemusnah yang
seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu Ilmu pengetahuan Islam
perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan
Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu
kerangka. Ilmu pengetahuan Islam menggunakan pendekatan wahyu, pendekatan
filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam pembahasan substansi ilmu, maupun
pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. Dengan rekonstruksi ilmu
pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan
Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling berhubungan
secara fungsional (fungsional Corelation)[13]
C. Integrasi Ilmu Pengetahuan ke Islaman dengan Umum
Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar
abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia
mencapai masarenaissance. Ilmu
pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam
mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang
ilmu tersebut.
Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula
sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat
tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan
sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena
mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo
memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya
berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja
memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme)
didasarkan pada informasi Bibel.[14]
Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang
berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu
pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai
sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya
pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler.[15] Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis
membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak
relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan
disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di
alam ini tidak ada yang sakral).
-
Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi
rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat
pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan.
Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah
empiris (pengalaman).
-
Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai
atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu
“memihak”, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya.[16]
Kondisi inilah
yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan
kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi
ilmu pengetahuan. Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama
tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri.
Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami”
atau “Islam”? Ataukah berupaya keras menstransformasikan normativitas agama,
melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya
secara empirik? . Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi
dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak
cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di
antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu”
tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung
keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat
jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan
yang mengusung ide “Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu
menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15
H., telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Tokoh yang
mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke
Amerika Serikat, Isma>’il Ra>ji Al-Faru>qi. Upaya yang dilakukan
adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal
ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.
Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis
dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh
Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan
yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma.
Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu
yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat
dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin),
tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari
objektivikasi ajaran Islam.
Masalah yang
muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman,
dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas
prinsip–prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Moh. Natsir
Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan
islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
1. Dalam
pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral,
melainkan mengandung nilai (value)
dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam
dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci
(baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2. Ilmu
pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas
fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan
akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena
yang diteliti.
3. Dalam
pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar
rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri
mendeskripsikan fakta dan al-qalbmemaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat
makna-makna atau nilai.
4. Dalam
pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada
realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi
rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual,
rasional, empiris etik dan empiris transenden.[17]
Azyumardi Azra,
mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan
hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama: Restorasionis,
yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama
(ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398
M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan
yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maudu>di, pemimpin
jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika,
kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena
tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua:
Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban
modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan
sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898
M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal
al-Din al-Afga>ni menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga: Reintegrasi,
merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah
al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah
al-kawniyah berarti kembali kepada
kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.[18]
Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari
integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan
temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan
(sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).[19] Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah
sebagai grand theorypengetahuan.
Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.[20]
Integrasi yang
dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan
Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.
Terdapat
keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan
sains:
(1) Integrasi yang hanya
cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan
temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana
integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu
tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif
yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri …. Tapi ada
kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi
ditaklukkan oleh sains.[21]
(2) Berkaitan dengan
pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo
mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu
nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah
berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan
kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan, hermeneutikal).[22]
Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan
mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang
tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu,
diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas
yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena
kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan
apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak
dapat berdiri sendiri …. maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[23]
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan
peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam
sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
-
Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan
sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang
lainnya.
-
Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada
kemungkinan berat sebelah.
- Pendekatan
Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan
dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil
manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain
serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri
sendiri.[24]
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan
usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan
umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan
mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang
non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan
keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa
tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam
dapat menjadi rahmat bagi semua orang.[25]
Contoh konkrit dari proses objektivikasi
keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya
berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara
lain; bagi hasil (al-Mud{a>rabah) dan kerja sama
(al-Musya>rakah). Di sini Islam
mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun.
Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas
keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih
luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi,
politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya.[26]
Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi
dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan
keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi
pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama.
Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan
umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis
epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak
persamaan, baik metode pendekatan (approach)
dan metode berpikir (procedure)
antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga
keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
Dari uraian di
atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu
keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
-
Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan
pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan
menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang
terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat
alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat
tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau
diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang
memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
- Dari
perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh
melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan,
pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan
sosial (sunnatullah). Karena itu
tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi.
-
Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan
kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan
sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan
kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya
akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
BAB III. KESIMPULAN
1. Alquran
diturunkan kepada manusia disamping sebagai pembeda antara yang hak dan yang
batil, juga menuntun manusia untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Sejak
kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh
suburlah pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan
sekuler.
3. Terjadinya
dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan
Islam berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab
kalau hal ini tidak dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi
kehidupan manusia.
4. Respon
cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum
ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.
5. Penyatuan
antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada
integrasi-interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis,
Epistemologis dan aksiologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar